Assalamu'alaikum sahabat
RA/MADRASAH. Otonomi Daerah sebagai anak kandung reformasi 1998 memberikan pengaruh yang besar di berbagai sektor kehidupan, termasuk pendidikan. Pendidikan yang awalnya sentralistik seiring bergulirnya Otda menjadilah desentralisasi. Bacalah Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah. Di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa kewenangan pendidikan dasar dan menengah pertama berada pada Kabupaten/Kota, sedangkan pendidikan menengah atas berada di Pemerintah Provinsi dan kewenangan pendidikan tinggi ada di Pemerintah Pusat.
Berdasarkan UU tersebut, Pemerintah daerah meskipun tidak semuanya kurang memperhatikan dan merasa tidak wajib memperhatikan madrasah. Mereka menafsirkan pendidikan sebagai SD, SMP dan SMA/SMK. Mereka menganggap bahwa madrasah adalah urusan agama/keagamaan. Sedangkan di dalam pasal 10 UU Otda tersebut, dijelaskan bahwa agama merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Jadi, madrasah adalah urusan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Agama. Inilah yang sering menjadi alasan Pemerintah Daerah ‘mengharamkan dirinya’ untuk membantu madrasah. Dari sinilah, Pemda acapkali menempatkan madrasah secara terpisah dari sekolah di dalam kebijakan-kebijakannya. Alih-alih memiliki pemahaman yang sama, Kementerian Dalam Negeri saja juga memiliki tafsiran yang berbeda-beda dan masih menjadikan hal ini sebagai sesuatu yang debatable.
Kebijakan-kebijakan yang diskriminatif seringkali terjadi pada Pemberian Bantuan Dana Madrasah, Pemberian Bantuan Studi Lanjutan Guru Madrasah, Pemberian Bantuan Pembangunan Gedung Madrasah, Pemberian Bantuan Sarana dan Prasarana Pengajaran Madrasah, dan Pemberian Bantuan Guru Honorer Madrasah.
Pemahaman tersebut menurut hemat penulis kontraproduktif dengan substansi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dalam pasal 17 dan 18 UU Sisdiknas disebutkan bahwa sekolah adalah institusi pendidikan formal untuk jenjang dasar (SD/MI), menengah pertama (SMP/MTs) dan menengah atas (SMA/MA) dan SMK/MAK. Madrasah disebut secara eksplisit bersandingan dengan sekolah. Ini artinya, madrasah harus diperlakukan sama dengan sekolah.
Selain itu, Pasal 49 UU Sisdiknas juga mengamanatkan agar dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lagi-lagi, ini artinya Pemda tidak boleh ‘buta’ terhadap pendidikan madrasah. Karena madrasah sama dengan sekolah.
Kenyataan ini tentu sangat ironis. Kehadiran Pemda, melalui Dinas Pendidikan, alih-alih menjadi dinamisator pelayanan publik di bidang pendidikan pada era otonomi daerah ini, malah sebaliknya, bersikap memilah, membelah dan membeda-bedakan. Kesalahpahaman ini mungkin juga diperparah dengan pemahaman interpretasi kepemilikan lembaga; madrasah di bawah naungan Kementerian Agama, Sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Memang, Kementerian Agama dalam hal ini Direktorat Pendidikan Madrasah (Ditpenma) memiliki anggaran untuk Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan, dan Subsidi RA/BA. Di tahun 2015, Ditpenma mendapatkan anggaran sebesar 16 triliyun. Tahun 2015 Pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) MI Ibtidaiyah hanya bisa dipenuhi 500 ruang padahal kebutuhannya 15.627 ruang. Ini contoh kecil betapa minimnya dana pendidikan untuk madrasah.
Awalnya, UU Sisdiknas 20/2003 merupakan angin segar bagi madrasah untuk berkembang, karena garis pemisah sekolah-madrasah sudah tidak tampak lagi. Namun di daerah, pemahaman terhadap UU Otda justru kembali menggoreskan garis tebal pemisah tersebut.
Oleh sebab itu, perjuangan untuk mengubah pemahaman Pemda atas UU Otda tersebut harus dilakukan. Di beberapa daerah, penulis seringkali mengajak diskusi kepala-kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) untuk mendukung madrasah. Beberapa MAN IC di beberapa provinsi mungkin akan tersendat pembangunannya tanpa bantuan dari Pemda.
Kiranya, untuk menjawab tantangan ini, yang bisa dilakukan adalah pertama membuka tafsiran yang fleksibel atas regulasi otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, sehingga pemerintah daerah memiliki landasan yang kuat untuk turut serta membangun madrasah bukan sekolah saja. Persepsi atau tafsiran atas UU Otda ini seharusnya dimaknai sebagai bentuk keberpihakan negara atas pendidikan madrasah. Tentu saja tafsiran yang fleksibel ini juga harus didukung dengan regulasi-regulasi yang kuat, seperti Peraturan Pemerintah Daerah, Keputusan Wali Kota, dan Keputusan Dinas Pendidikan.
Kementerian Agama sudah beberapa kali melakukan advokasi dengan melayangkan surat resmi agar segala bentuk regulasi pemda yang terkait dengan pendidikan tetap memberikan perhatian yang proporsional terhadap pendidikan madrasah. Namun, sampai saat ini, hasilnya belum terlihat. Sehingga perlu dilakukan skema lainnya.
Kedua, jika solusi pertama tidak memungkinkan, dana pendidikan yang ditransfer ke daerah, yang jumlahnya cukup besar itu sekitar 254.9 triliyun atau sekitar 62.3% dari total anggaran pendidikan nasional, diusulkan untuk dikurangi, kemudian ditambahkan ke APBN Kementerian Agama yang nantinya akan diperuntukkan sebagai dana pendidikan madrasah. Sebab, menurut sejumlah informasi, dana tersebut dalam setiap tahun pasti tidak terserap dan tersisa (SiLPA) sekitar 28 triliyun. Ini menjadi perjuangan Kementerian Agama yang visible dan memungkinkan untuk melakukan penarikan dana pendidikan yang ditransfer ke daerah tersebut dengan rasionalisasi yang kuat tentunya.
Ketiga, gaji pendidik dan tenaga kependidikan madrasah ‘dititipkan’ di daerah. Gaji ini porsinya cukup besar dalam postur anggaran di Kementerian Agama. Jadi, alokasi pendidikan madrasah di Kementerian Agama sudah dikurangi gaji/non-gaji. Atau dengan kata lain, gaji ditanggung oleh pemda.
Ketiga solusi tersebut memang membuka ruang diskusi yang panjang dan meniscayakan duduk-bersama antara Pemda, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri. Ini penting supaya terjadi kesamaan gelombang dalam memahami UU Otda dan memperjuangkan pendidikan di Indonesia.
Madrasah telah memberikan sumbangan yang signifikan bagi kecerdasan bangsa. Oleh sebab itu, sudah saatnya madrasah dibangkitkan dengan cara memberikan perhatian pada sisi anggaran pendidikan madrasah.