Memasuki era yang semakin global, tantangan mencetak generasi anak didik yang salih secara personal sekaligus mampu menjadi generasi perekat sosial bukanlah perkara mudah. Para guru dan para tenaga kependidikan diharapkan mampu menjawab dengan mencetak generasi yang baik. "Kalau tidak (bisa), kita tidak bisa membayangkan generasi Islam yang akan datang, sebab, sekitar 80 persen anak didik tidak mendapatkan pendidikan agama yang memadai. Meski tanggung jawab pendidikan agama berada di tangan Kemenag," kata Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin di Hotel Grand Zuri Serpong, Rabu (7/10) kemarin.
Sebab itu, di hadapan para Kepala Seksi dan para guru, Dirjen mewanti-wanti agar metode pembelajaran pendidikan agama dievaluasi, "jadi pendidikan agama ini sekali lagi, mohon sama-sama mengevaluasi dan membaca apakah palajaran agama yang kita sodorkan ke anak-anak kita ini tidak hanya pendidikan atau pemahamanan keagamaan yang bersifat koginitif saja," tukasnya.
Sehingga, lanjut Kamaruddin, standar kelulusan siswa madrasah menjadi hal sangat penting untuk menciptakan generasi masa depan yang bagus dan siap pakai. Selain itu, ia berharap bahwa dalam proses pembelajaran mampu menghasilkan anak didik yang berkarakter serta mampu merubah perilaku anak didik yang salih secara pribadi, "juga mampu menjadi instrument perekat sosial, dalam artian bahwa ajaran tentang kerukunan, toleransi dan menghargai perbedaan itu juga harus diajarkan," ujar Dirjen.
Jadi, lanjut Kamaruddin lagi, kerukunan umat beragama yang menjadi core Kemenag tidak akan berjalan efektif jika hanya diberikan orang dewasa. Sebab, orang mampu menghargai agama lain, budaya lain, akan sulit diajarkan kepada orang dewasa, "orang sudah dewasa, orang sudah radikal diberikan tentang kerukunan tidak efektif. Yang paling potensial dan bisa melakukan memperjuangkan kerukunan itu pendidikan madrasah," tukasnya.
karakter pendidikan di Indonesia mempunyai dua fungsi ketimbang pendidikan di negara lain secara umum, yaitu menciptakan generasi salih secara personal tadi dan secara sosial, jika di barat pendidikan mengajarkan bagaimana menghargai perbedaan, karena itu respon terharap pluralitas di negara itu. Sebaliknya, di Timur Tengah hanya diajarkan menjadi anak salih. Sedangkan di Indonesia diajarkan dua-duanya.